Sunday, June 19, 2016
Home »
» PIDANA dan DENDA bagi Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan
PIDANA dan DENDA bagi Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan
Pemerintah era JokoWidodo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Aturan baru ini berlaku mulai 8 Maret 2016. Dan menggantikan peraturan lama PER.04/MEN/1994.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Tunjangan Hari Raya yang selanjutnya di sebut THR keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan. (Bab I pasal 1 ayat 1 )
Lalu, Hari Raya keagamaan mana yang diakui dan dberikan hak THR tersebut? Dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan Hari raya Idul Fitri bagi pekerja/buruh yang beragama islam, hari raya natal bagi pekerja/buruh yang beragama kristen protestan dan kristen katolik, hari raya Nyepi bagi pekerja/buruh yang beragama Hindu, hari raya waisak bagi buruh/pekerja yang beragama Buddha, dan hari raya Imlek bagi pekerja/buruh yang beragama khonghucu.
Dalam kebiasaannya, pengusaha akan membayarkan secara serentak kepada seluruh karyawannya baik yang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, maupun Khonghucu. Dalam permnaker tersebut telah diakui juga adanya keyakinan Khonghucu yang juga mendapatkan THR.
Pemberian serentak ini terkait kebijakan internal bahwa THR sebagai biaya yang sudah terencana dalam satu waktu yang harus dikeluarkan, sehingga dikatakan ingin segera THR terbebas di keluarkan untuk menghindari high cost ( atau biaya tinggi) sebuah produksi. Dan tentunya wajar jika langsung dikeluarkan secara bersamaan. Selain itu juga bahwa saat hari raya Idul fitri merupakan libur yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan untuk berlibur atau merayakannya.
Siapakah penerima THR keagamaan? Pasal 2 ayat 1 mengatakan pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih.
Selanjutnya diatur bahwa penerima THR keagamaan ini tidak memandang apakah itu buruh kontrak, musiman, borongan, atau tetap. Semua mendapatkan karena terikat hubungan kerja. “THR Keagamaan dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu”.
Lalu besaran berapa yang dibagi? Bahwa besarnya yang dibagi kalau karyawan tersebut dibawah 12 bulan maka akan dibagi proporsional. Jika lebih dari 12 bulan maka minimal adalah 1 kali upah yang diterima. Berapa sebenarnya yang diberikan? Aturan ini tidak mengatur tentang berapa rupiah maksimalmya, hanya mengatur minimal yang diberikan, yaitu 1 kali upah yang diterima yang terdiri dari upah yang tanpa tunjangan yang diterima bersih atau upah sebagai gaji pokok beserta tunjangan tetapnya. ( pasal 3 ayat 3).
THR keagamaan ini diberikan 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya dilaksanakan. Apakah boleh THR diberikan dalam bentuk barang? Dalam Pasal 6 disebutkan THR keagamaan diberikan dalam bentuk uang rupiah. Aturan ini tidak mengatur pemberian THR dalam bentuk barang, namun pernah dalam aturan sebelumnya, bahwa pemberian THR bisa diberikan dalam bentuk uang dan barang namun komposisi upah adalah 75% sedangkan wujud barang adalah 25%.
Ketentuan Pidana
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. ( see: www.hukumonline.com)
Ketentuan pidana sebagai sanksi atas pelanggaran aturan THR Keagamaan tersebut diatas tidak disebutkan. Hanya disebutkan sebagai tindakan perbuatan melawan hukum, yaitu denda 5 % dari setiap keterlambatan. Dengan demikian, hukuman administratif pun diterapkan, namun tidak jelas aturan secara pasti.
Pidana, yang dicari adalah perbuatan materiilnya dari sebuah perbuatan. Unsur barang siapa, bagaiamana dilakukan, siapa korban, dan apa bukti bukti nya sebagai alat bukti.
Kalau THR dikatakan sebagai hak pekerja/buruh, dan kewajiban pengusaha, maka jika tidak diberikan, maka atas nama undang undang berlaku penggelapan. Pengusaha jika tidak melakukan pembayaran maka bisa masuk dalam penggelapan.
Pasal 372 KUHP, yaitu Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1. Unsur Subyektif Delik
berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
(a) Unsur barang siapa;
(b) Unsur menguasai secara melawan hukum;
(c) Unsur suatu benda;
(d) Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
(e) Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Yang menjadi perdebatan adalah apakah dengan sengaja atau bagaimana unsur menguasai bisa menjeratnya dalam pidana tersebut. Dengan sengaja, berarti memang ada niatan untuk menguasai,mengurangi dan melawan hukum atas suatu kewajiban untuk memberikan uang kepada pekerja/buruh berdasarkan aturan tersebut. Apakah lalai atau tidak, asas hukum di Indonesia tidak mengenal lalai atas pelanggaran aturan.
Permasalahan ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana ketenagakerjaan. Denda 5% merupakan sanksi atas keterlambatan upah THR yang diberikan. Atas hal ini bagian pengawasan pada Dinas Tenaga Kerja lah yang menjadi penyidik atas pelanggaran ini. Kita berharap atas peranan dari pegawai pengawas disnaker ini untuk memantau berjalanya THR bagi pekerja/buruh.
Jika ditemukan adanya pelanggaran ini maka segera untuk dilaporkan ke disnaker.
0 comments:
Post a Comment