NES & Co


advokat - Konsultan Hukum

Friday, June 3, 2016

KRIMINALISASI

Kriminalisasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.
Merujuk dari penggunaan kata “kriminalisasi” yang berkembang saat ini, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi sepertinya dimaknai: “sebagai tindakan aparat penegak hukum menetapkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi perundang-undangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak atau tafsir subyektif atas perbuatan seorang, lalu kemudian diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana.”
Kriminalisasi bukanlah menempatkan sebgai sebuah peristiwa Pidana dan Perbuatan Pidana. Kamus besar Bahasa Indonesia,menempatan kriminalisasi sebagai hasil kahir untuk sebuah perstiwa perbuatan pidana.  Padahal dimengerti bahwa peristiwa pidana dan perbuatan pidana adalah berbeda.
Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai pidana (hukuman).
Unsur-unsur peristiwa pidana dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi subjektif dan segi objektif..
Dari segi subjektif adalah perbuatan yang dilakukan seseorang secara salah, unsur-unsur kesalahan sipelaku itulah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pidana. Dari segi objektif adalah berkaitan dengan tindakan, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang sedang berlaku, akibat perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman. Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memnuhi syarat-syarat seperti berikut :
1.    Harus ada suatu perbuatan, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
2.    Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3.    Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
4.    Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.
Perbuatan pidana, Barangsiapa melakukan suatu tindak pidana, maka akan timbul suatu tindakan berupa ancaman (sanksi) berupa pidana oleh negara bagi mereka yang melanggarnya, sesuai dengan yang diancamkan pada larangan tersebut. Pelanggaran pidana, menurut saya adalah suatu perbuatan yang menyalahi suatu aturan/ tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dilakukan dengan sengaja, maupun secara tidak sengaja
Perbuatan itu harus betentangan dengan hukum. Suatu perbuatan, sebagai suatu peristiwa hukum harus memenuhi isi dari ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi, dan orang tersebut wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatannya itu. Berkenaan dengan hal ini, hendaknya dapat dibedakan antara suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan, dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena hal itu dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya, atau dalam keadaan darurat. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum.
Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maksudnya, pebuatan tersebut harus nyata-nyata bertentangan/ berlawanan dengan hukum yang berlaku. Harus tersedia ancaman hukum terhadap perbuatan tersebut. Jika ada ketentuan hukum yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumnya. Dan ancaman hukum itu dinyatakan secara tegas dan termuat dalam peraturan hukum yang berlaku.
BURUH DI HUKUM
Baru baru menjadi pemberitaan yang luar biasa mengingat peristiwa pengadilan terhadap para pegiat demonstrasi atau unjuk rasa. Mulai dikenakan UU kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum no. 9 tahun 1998, sudah diatur bagaimana cara orang untuk menyatakan pendapatnya.
Namun UU tersebut tidak lah berdiri sendiri, karena UU tersebut tidak mengatur konsekuensi penanganan jika kondisi chaos atau terjadi situasi terganggunya kamtibmas. Bisa dengan melibatkan KUHP  dan UU Lainnya. Upaya penangkapan tidak ada dalam UU 9 tahun 1998. Yang ada hanyalah pembubaran paksa jika kondiisi obyektif melanggar UU tersebut.
Sehingga dalam upaya kriminalisasi bisa sekali dimungkinkan karena kondisi obyektif dari sebuah perbuatan pidana akan diambilkan dari UU lain yang mempunyai kekuatan untuk menahan dan menekan kegiatan tersebut,yang berujung pada proses pemidanaan.
Misal, jika unjuk rasa sudah melewati jam yang dilarang, sehingga aparat bisa untuk membubarkannya, namun sering sekali berakhir dengan bentrok.
Nah dari sni muncul adanya perbuatan pidana yang oleh penyidik dengan perbuatan materiil adalah melawan petugas dan membuat situasi masyarakat lain menjadi terancam.
Sebenarnya proses pemidanaan terhadap aktifitas unjuk rasa tidaklah bisa dikategoriikan sebagai proses hukum karena ini berkaitan dengan hak mendasar yang sudah diatur yaitu menyatakan pendapat di muka umum. Tidak ada relasi atau hubungan hukum antara proses pemidaan dengan kegiatan unjuk rasa.
Curiga bahwa ini adalah romantisme orde baru sebagai upaya menstabilkan politik dan kekuasaan atau kekuatan mediasi dan pendekatan human nya yang tidak bagus di aparat kepolisian.  Mungkin juga sebagai alat represif yang bertujuan untuk mengendurkan  kegiatan tersebut bagi orang lain.
Coba lihat Pasal KUHP ini :
Pasal 216
(1)            Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undangundang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah
Ini sangat efektif  jika para aktifis unjuk rasa tidak mau mendengarkan instruksi polisi atau pejabat yang berwenang.

3 comments:

Nur Edi Suseno said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
www.edilawyer.blogspot.com said...
This comment has been removed by the author.